Jumat, 18 Desember 2009

Pemikiran Pendidikan Islam menurut Ibn Miskawaih

Makalah

“Pemikiran Pendidikan Islam menurut Ibn Miskawaih”


Di susun oleh:
Fedi Moh. Ghifary A.

Dosen :
Fenti Inayati, S.Ag.

STAI PERSATUAN ISLAM GARUT
2009






BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan pada hakikatnya adalah interaksi komponen-komponen yang esensial dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Perpaduan antara keharmonisan dan keseimbangan serta interaksi unsur-unsur esensial pendidikan, pada tahap operasional dipandang sebagai faktor yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam diketahui bahwa pendidikan berlangsung melalui proses operasional dalam mencapai tujuannya dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai spiritualitas Islam. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan anak didik yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Manajemen kelembagaan pendidikan semacam itu merupakan sebuah sistem pendidikan Islam. Dari segi ini, pendidikan Islam dipandang sebagai proses yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan.
Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem sosial yang dipahami sebagai aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim pada operasionalisasinya melibatkan berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lainnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya adalah sebuah sistem, dimana proses pendidikan Islam dipahami sebagai interaksi antara komponen yang satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pendidikan Islam.
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang pelu diemban oleh pendidikan. Islam adalah pendidikan mannusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.


BAB II
PEMBAHASAN

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBN MISKAWAIH

A. Riwayat Hidup

Ibn Miskawaih yang terkenal dengan julukan al-Khazin, digelari juga sebagai ‘guru ketiga’ setelah Aristoteles dan al-Farabi. Ia lahir di Teheran tahun ± 320 H/932 H dan wafat pada tahun 421 H/1030 M. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia menggeluti berbagai macam disiplin ilmu sebingga menjadikannya sebagai ‘Bapak Filsafat Etika Muslim’ dan ‘Bapak Psikologi Pendidikan Muslim’. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan dan pendidik.

B. Pemikiran Kependidikan Ibnu Miskawaih

a. Apakah Manusia dapat dididik
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan pendapat Ibn Miskawaih tentang karakter manusia. Manusia memiliki dua macam karakter, pertama yang tabi’i, kedua karakter yang lain dan diperoleh melalui kebiasaan dan latihan.
Ibn Miskawaih mengakui hakekat dan fungsi pendidikan dalam pembentukan kepribadian diri manusia sehingga terbentuk manusia yang memiliki malakah dan karakter yang terpuji. Malakah mempunyai makna sebagai sifat yang berurat berakar, sebagai hasil mengerjakan sesuatu secara berulang kali. Jika malakah dihubungkan dengan persoalan belajar, maka ia bermakna suatu tingkat capaian dan tingkat tertentu sebagai akibat dari proses belajar.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Ibn Miskawaih mengungkapkan manusia dalam menerima perubahan karakter berbeda-beda. Sehingga ia membagi manusia menurut tabiatnya kepada tiga kelompok, manusia yang baik, jahat dan manusia pada posisi tengah yang dapat berubah menjadi baik atau jahat tergantung pada faktor usaha, pendidikan dan lingkungan. Pembagian ini memberi gambaran bahwa manusia dapat dididik, dan inilah menurutnya yang sesuai dengan realitas. Dan justru karena pemahamannya yang demikian, ia menulis buku Tahzib, supaya manusia berakhlak mulia.

b. Dasar Pendidikan
Dasar merupakan landasan bagi berdirinya sesuatu, dan ia berfungsi sebagai pemberi arah terhadap tujuan yang akan dicapai;
1. Syariat sebagai dasar pendidikan. Ibn Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti apa yang menjadi dasar pendidikan. Namun ia menyatakan bahwa syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Dengan syariat, manusia terbiasa untuk melakukan perbuatan terpuji, menjadikan jiwa mereka siap menerima al-hikmah dan fadilah. Karena rujukan syariat agama adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, maka dua hal terakhir menjadi sumber yang paling asasi;
2. Pengetahuan psikologi sebagai dasar pendidikan. Ibn Miskawaih pada awal tulisannya dalam Tahzib menegaskan adanya hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan tentang jiwa. Bahwa untuk menjadikan manusia memiliki karakter yang baik, kata Ibn Miskawaih harus melalui perekayasaan (sina’ah) dan pengarahan pendidikan secara sistematis (ala tartib ta’limy). Pembentukan karakter baik tersebut, dapat tercapai jika kita memahami makna jiwa, mulai dari penciptaannya, tujuannya, kekuatan/dayanya, dan malakah-nya. Jiwa yang dibina dengan tepat akan menjadikan manusia tersebut mencapai kesempurnaan. Pembinaan jiwa tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan.

c. Tujuan Pendidikan
Corak pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih lebih bertendensi etis dan moral. Hal ini terlihat dalam merumuskan pendapatnya tentang tujuan pendidikan sebagai berikut:
1. Tercapainya akhlak mulia
Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya pribadi yang berakhlak mulia, yang disebutnya isabah al-khuluq al-syarif, yakni pribadi yang mulia secara substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang temporal dan aksidental, seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.
Hal di atas sejalan dengan pandangannya bahwa kemuliaan dan keistimewaan manusia terletak pada jiwa rasionalnya. Menurutnya, manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar rasionalnya, dan terkendali olehnya. Karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagaimana menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dia bisa menetralisir Jiwa-jiwa lainnya.
2. Kebaikan, Kebahagiaan dan Kesempurnaan
Pada hakekatnya tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia. Tercapainya tujuan pendidikan adalah merupakan langkah bagi tercapainya tujuan hidup manusia yang terakhir yaitu kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan.
Manusia menurut Ibn Miskawaih memiliki keutamaan rohani, dengannya ia dapat menyemai ruh-ruh yang baik, dan keutamaan jasmani yang dengannya ia menyamai hewan. Manusia dengan potensi fisiknya menempati alam rendah untuk mengaturnya, dan akan pindah ke alam tinggi bersama para malaikat dan rub yang baik.
Sehubungan dengan kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan di atas, maka Ibn Miskawaih membagi kedudukan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt kepada:
a) Kedudukan orang yang yakin, yaitu tingkat filosof dan ulama.
b) Kedudukan orang yang baik, yaitu orang yang mengamalkan pengetahuannya.
c) Kedudukan orang yang beruntung, yakni orang-orang yang shaleh.
d) Kedudukan orang yang menang, yaitu tingkatan orang yang tulus.
Untuk mencapai semua tingkatan di atas, harus dimiliki empat kualitas, yaitu: (1). Kemampuan dan semangat yang kuat, (2) Ilmu-ilmu yang hakiki dan pengetahuan yang esensial-substansial, (3) Malu akan kebodohan dan kekurangwaspadaan, dan (4) Tekun melakukan kebajikan.

d. Pendidik dan Subjek Didik
Ibn Miskawaih mengelompokkan pendidik kepada orang tua, guru atau filosof pemuka masyarakat, dan raja atau penguasa. Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa kewajiban orang tua mendidik anak-anak mereka supaya mentaati syari’at dan seluruh sopan santun dengan berbagai cara.
Menurut Ibn Miskawaih guru atau filosof adalah penyebab eksistensi intelektual manusia, karena pendidikan yang mereka berikan dan ilmu yang mereka kembangkan. Tugas pemuka masyarakat yaitu pertama, meluruskan dan memandu manusia dengan ilmu-ilmu rasional dengan melatih daya-daya analisis potensinya. Kedua, memandu manusia dengan keterampilan praktis sesuai dengan kemampuannya.
Pengertian subjek didik bagi Ibn Miskawaih cukup luas, yaitu semua orang yang memperoleh atau memberikan bimbingan, bantuan dan latihan dari orang lain, baik berupa ilmu pengetahuan, maupun keterampilan guna mengembangkan diri. Menurutnya, manusia memiliki watak yang berbeda, ada yang memiliki sifat baik sejak awal dan ada juga yang tidak memiliki sifat tersebut. Akan tetapi, pembawaan sifat tersebut dapat berubah, jika ia memiliki kesungguhan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Jika perbedaan watak ini diabaikan, maka setiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individunya yaig tabi’i, disinilah letak pentingnya pendidikan agama.
Ibn Miskawaih mengemukakan bahwa respon individu dalam menerima pendidikan ada yang harus dengan paksaan. Ada pula menurutnya manusia yang responnya sangat mudah dan cepat karena ia punya watak yang baik, potensi unggul.
Mengenai tahapan perkembangan kejiwaan manusia, menurut Ibn Miskawaih berkembang dari tingkat sederhana pada tingkat yang tinggi. Awalnya, daya yang muncul berhubungan dengan makanan, untuk bertahan hidup lalu berkembang daya yang bersifat syahwiyah, yang membuatnya cenderung pada kesenangan. Kemudian berkembang daya imajinasi melalui panca indera, selanjutnya muncul daya gadhabiyah, ia mencoba mengatasi apa-apa yang merusak diri dan mencari yang bermanfaat dari dirinya. Setelah itu muncul secara berangsur daya atau kekuatan natiqah yang ditandai dengan rasa malu. Pada tahap ini manusia akan merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saatinmi menurutnya jiwa sudah siap menerima pendidikan.
Ibn Miskawaih juga berpendapat, bahwa pendidikan melalui latihan dan pembiasaan pada anak. Hal ini karena jiwa anak pada awalnya masih sederhana, jika ia mendapat gambar tententu, maka ia akan tumbuh sejalan dengan gambar tersebut, dan terbiasa dengannya.
Hubungan pendidik dengan subjek haruslah didasarkan pada cinta, kasih sayang, persahabatan keadilan, kebaikan dan fadilah. Hal ini karena menurut Ibn Miskawaih bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan kebaikan serta berupaya memperoleh keutamaan. Untuk itu, maka dalam pendlidikan perlu adanya komunikasi dua arah (interaksi) dan multi arah (transaksi).

e. Fungsi Pendidikan
Menurut Ibn Miskawaih, fungsi pendidikan adalah sebagai benikut:
1) Menanamkan Akhlak Mulia
Bagi Ibn Miskawaih, pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan pendidikan, sekaligus sebagai fungsi pendidikan. Nilai-nilai akhlak mulia yang perlu ditanamkan dan dibiasakan itu pada aspek rohani seperti jujur, tabah, sabar dan lain-lain. Juga pada aspek jasmani seperti adab berpakaian, berbicara dan lain-lain.
2) Memanusiakan Manusia
Ibn Miskawaih menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah untuk menundukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia. Selain itu pendidikan bertugas untuk mengangkat manusia dari tingkat terrendah pada tingkat tinggi.
3) Sosialisasi Individu
Ibn Miskawaih menyatakan bahwa kebajikan dan malakah manusia itu sangat banyak jumlahnya, dan seorang individu tidak dapat mencapainya sendirian. Sejumlah individu harus bersatu untuk mencapai kebahagiaan bersama, sehingga satu sama lainnya menyempurnakan. Masing-masing individu menjadikan dirinya seperti satu tubuh, yang saling menunjang.
Manusi menurut Ibn Miskawaih tidak dapat mandiri dalam menyempurnakan esensi dan substansinya sebagai insan, jika tidak berintegrasi dengan individu lainnya. Maka, diperlukan segala bentuk hubungan sosial lainnya, di antaranya melalui interaksi pendidik-subyek didik dalam proses pendidikan.
f.. Materi Pendidikan
Ibn Miskawaih tidak menjelaskan dengan tegas materi apa yang harus diajarkan kepada subyek didik. Tetapi dapat dipahami bahwa ia menekankan materi pendidikan itu haruslah bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia dan menjadikan manusia sesuai dengan substansi serta esensinya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Ibn Miskawaih membagi ilmu kepada dua kelompok: ilmu-ilmu mulia (al-ulum al-syarifah) dan ilmu-ilmu yang hina (a/- ulum al-radi’ah). Pembagian martabat ilmu tersebut sesuai dengan substansi dan obyek ilmu yang ada di alam ini. Ilmu-ilmu tentang manusia adalah lebih mulia (seperti ilmu pendidikan, ilmu kedokteran dan lain-lain) dan ilmu tentang hewan, dan ilmu-ilmu tentang hewan lebih mulia dari ilmu-ilmu mengenai benda mineral (al-jamadat). Ia lebih menekankan mempelajari al- ulum al-aqliyah, karena itu berkaitan langsung dengan substansi, eksistensi dan kualitas manusia.
Mengenai urutan yang harus diajarkan kepada subjek didik yang pertama sekali adalah kewajiban.-kewajiban syari’at, sehingga subjek didik terbiasa. Kemudian materi yang berhubungan dengan akhlak, sehingga akhlak dan kualitas terpuji merasuk dalam dirinya, sehingga terbiasa dengan perkataan yang benar dan argumentasi yang tepat. Kemudian meningkat setahap demi setahap pada materi ilmu lainnya, sehingga subyek didik mencapai tingkat kesempurnaan.

g. Metode dan Alat Pendidikan
1) Metode alami (tabi’i)
Sebagaiamana diuraikan terdahulu, bagi Ibn Mis kawaih stinap individu punya perbedaan dengan individu lainnya, termasuk tahapan perkembangannya. Oleh karenanya, menurut Ibn Miskawaih, dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti harus berjenjang, setahap demi setahap, sehingga sampai kepada kesempurnaan.
Dengan demikian ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu hendaknya didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, jasmaniah dan rohaniah. Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia membutuhkan pemenuhan psiko-pisiologis, dan cara mendidik hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan ini, sehingga sesuai tuntutan tahapan pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi.
2) Nasihat dan tuntunan sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih menyatakan, supaya anak mentaati syari’at, dan berbuat baik, maka diperlukan nasihat dan tuntunan. Subyek didik akan tidak terarah kepada tujuan
pendidikan yang diharapkan jika kepada mereka tidak diberikan nasihat dan pengajaran lainnya.
3) Ancaman, hardikan, pukulan, dan hukuman sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik, seperti tertera di atas dan dilaksanakan secara akurat sesuai dengan tuntutan yang diper-lukan. Artinya, jika subyek didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, maka kepada mereka diberikan berbagai cara sehingga mereka kembali kepada tatanan nilai yang ada. Tetapi harus bertahap dalam pelaksanaannya, ancaman dulu, baru hardikan kemudian pukulan (bersifat jasmani) dan hukuman (baik bersifat jasmani maupun rohani).
4) Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih menandaskan, jika subyek didik melaksanakan syari’at dan berperilaku baik, maka dia perlu dipuji dihadapannya. Selanjutnya Ibn Miskawaih menyatakan, jika ia didapati melakukan perbuatan yang melanggar syari’ah dan budi pekerti mulia, maka anak jangan langsung dicerca, apalagi di depan orang banyak.
5) Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Bila diteliti pemikiran Ibn Miskawaih dalam Tahzib mengenai asas-asas pendidikan akan ditemukan berbagai macam konsep, yang dapat dirangkumkan kepada: asas bertahap, perbedaan, kesiapan, gestalt, ketauladanan kebebasan aktivitet, keadilan, cinta dan persahabatan serta pembiasaan dan pergaulan.
Dalam asas kesiapan, Ibn Miskawaih menyatakan bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kesiapan untuk memperoleh bermacam-macam tingkatan. Dengan modal kesiapan ini manusia mempunyai harapan untuk meningkatkan kualitas dirinya, hanya saja tidak sama untuk semua individu.
Asas Gestalt adalah mendahulukan pengetahuan yang umum kemudian dirinci. Ibn Miskawaih menandaskan jika anda mengetahui yang universal anda akan mengetahui yang partikularnya, karena partikular itu lidak dapat terpisah dengan yang universalnya.
Asas ketauladanan adalah pemberian contoh yang baik bagi subyek didik, kecenderungan manusia untuk meniru menyebabkan ketauladanan menjadi penting artinya bagi pendidikan.
Asas kebiasaan bagi Ibn Miskawaih sangat penting dan menjadi perhatiannya. Dikatakannya, subyek didik boleh bebas memilih, apakah menjadi makhluk mulia atau menjadi makhluk hina seperti binatang, atau menjadi manusia sederajat malaikat, bahkan menyatu dengan Tuhan. Itu semua terserah kepada manusia sebagai subyek dari pendidikan.
Asas pembiasaan adalah upaya praktik dalam pembinaan dan pembentukan subyek didik. Ibn Miskawaih berulangkali menyatakan untuk membiasakan berbuat baik dan taat kepada orang tua, guru dan pendidik, biasakanlah dia untuk tidak berbohong, biasakanlah dia untuk sering berjalan, bergerak, rekreasi, olah raga dan seterusnya.
Dernikianlah beberapa asas pendidikan dan pemikiran Ibn Miskawaih. Pemikiran tersebut didasari oleh hakekat jati diri subyek didik. Sehingga sangat penting untuk dipahami dan diterapkan dalam usaha pendidikan



BAB III
Kesimpulan

Ibn Miskawaih yang terkenal dengan julukan aI-Khazin, digelari juga sebagai ‘guru ketiga’ setelah Aristoteles dan al-Farabi. Ia lahir di Teheran tahun ± 320 H1932 H dan wafat pada tahun 421 H11030 M. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia menggeluti berbagai macam disiplin ilmu sehingga menjadikannya sebagai Bapak Fitsafat Etika Muslim’ dan ‘Bapak Psikologi Pendidikan Muslim’. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan dan pendidik.
Dalam karyanya Tahzib, lbn Miskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Ia mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi’i, namun ia dapat berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu melalui pendidikan.
Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya priibadi yang berakhlak mulia, yang disebutnya isabah al-khuluq al-syrif, yakni pribadi yang mulia secara substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang temporal dan aksidentaI seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.
Menurut Ibn Miskawaih, fungsi pendidikan adalah sebagaj berikut:
menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia, dan sosialisasi individu. Sementara metode dan alat pendidikan yang dapat digunakan menurut Ibn Miskawaih adalah metode alami (tabi’iy), nasihat dan tuntunan ancaman hardikan pukulan dan hukuman, sanjungan dan pujian, serta mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan.







Maraji' :
-Mahmud dan Tedi Priatna, Kajian Epistemologi, Sistem dan Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2008
-Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005
-Prof. Dr. A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pendidikan Islam, Bandung: mimbar Pustaka, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar