Minggu, 27 Desember 2009

Zakat Emas dan Perak

Makalah

“Zakat Emas dan Perak”


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Pelengkap
Bidang Studi Hadits II


Disusun Oleh : Fedi Moh. Ghifary A.
Prodi : PAI
Semester : III (tiga)
Dosen : Gun gun Abdul Basith, S. Ag.


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
PERSATUAN ISLAM - GARUT
Tahun 2009





ZAKAT EMAS DAN PERAK

بسم الله الرحمن الرحيم

- عَنْ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ قَالَ: إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الحَوْل، فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمٍ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْء يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا، فَإِذَا كَانَ لَك َعِشْرُونَ دِيْنَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا الحَوْل فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَار، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابُ ذَلِكَ. رواه أبو داود وصحّحه الألباني
Artinya :
Dari sahabat Ali radhiallahu 'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Bila engkau memiliki dua ratus dirham, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu." (Riwayat Abu Dawud, Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albani)

عن أبي سَعِيدٍ رضي الله عنه يقول: قال النبي صلى الله عليه و سلم : ليس فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ. متفق عليه
Artinya :
Dari sahabat Abu Sa'id Al Khudri radhiallahu 'anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah." (Muttafaqun 'alaih)

Dan pada hadits riwayat Abu Bakar radhiallahu 'anhu, dinyatakan:

وفي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْر. رواه البخاري
Artinya :
"Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %)." (Riwayat Al Bukhari)

A. Pengertian Zakat

Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-Barakatu 'keberkahan', al-namaa 'pertumbuhan atau perkembangan', ath-thaharatu 'kesucian', dan ash-shalahu 'keberesan'. Sedangkan menurut istilah, meskipun para ulama mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah Sebagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SAW mewajibkannya kepada pemiliknya, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.

B. Hukum Zakat dan kedudukannya dalam Agama

Zakat adalah kewajiban bagi setiap orang (Fardhu 'Ain) yang memenuhi syarat-syarat diwajibkannya zakat. Dan sungguh kewajibannya ditetapkan dalam Al-Quran , As-Sunnah dan Ijma'. Salah satu dalil diwajibkannya adalah Al-Quran surat al-Baqarah ayat 110,

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat….(al-Baqarah : 110)
... وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ
Dan kedudukannya dalam Islam, zakat adalah salah satu rukun dari rukun-rukun Islam yang lima, yaitu rukun yang ketiga setelah mengucapkan dua shahadat dan salat.


C. Hikmah disyariatkannya Zakat

Di antara hikmah disyariatkannya zakat adalah sebagai berikut :

1.Membersihkan jiwa manusia dari kotoran kikir, keburukan, dan kerakusan
2.Membantu orang-orang miskin dan menutup kebutuhan orang-orang yang berada dalam kesulitan dan penderitaan.
3.Menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan umum dimana kehidupan dan kebahagiaan umata sangat terkait dengannya
4.Mengatasi kebengkakan kekayaan di tangan orang-orang kaya dan para pedagang,agar harta tidak beredar di kalangan tertentu, atau hanya sekedar di kalangan orang-prang kaya saja

D. Syarat wajib zakat

Syarat wajib zakat ;
1.Islam,zakat tidak akan diterima dari orang kafir dan murtad
2.Merdeka, hamba sahaya tidak wajib zakat.
3.Sampainya nisab harta
4.Sampainya nisab setahun penuh
5.Milik sempurna yang dalam kemdalinya.

E. Harta-harta yang wajib dizakati

Mengenai harta yang wajib dizakati ini cukup banyak dan detail sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Yusuf A-Qardhawy yang mencakup :

1. Zakat binatang ternak
2. Zakat emas dan perak / zakat uang
3. Zakat kekayaan dagang
4. Zakat pertanian
5. Zakat madu dan produksi hewani
6. Zakat barang tambang dan hasil laut
7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll
8. Zakat pencarian dan profesi
9. Zakat saham dan obligasi

Dari semua harta yang wajib dizakati di atas, Insya Allah saya akan bahas salah satunya sesuai dengan tema yang diberikan kepada saya yaitu "Zakat Emas dan Perak", dimana zakat emas dan perak ini penting bagi kita pada umumnya untuk mengetahuinya.

F. Zakat Emas dan Perak

a. Kewajiban zakat emas dan perak

Kewajiban zakat uang telah ditetapkan dalam Alquran, hadis dan ijmak. Allah swt. berfirman,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih…"
Adapun dalam hadis telah dinyatakan dalam sabda Rasulullah saw., "Tidak seorang pemilik emas dan perak pun yang tidak melaksanakan haknya (zakatnya) kecuali pada hari kiamat nanti emas dan perak tersebut akan dijadikan lempengan-lempengan api yang dipanaskan dalam neraka Jahanam kemudian akan disetrikakan ke sisi tubuhnya, keningnya dan punggungnya."

b. Nishab zakat Emas dan Perak

Sebagaimana Hadits-hadits yang saya kemukakan di atas sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya kita dapat simpulkan beberapa hal:

1.Nishab adalah batas minimal dari harta zakat yang bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu pada hadits riwayat Ali radhiallahu 'ahu di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan: "Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu."
2.Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91,3/7 gram emas.
3.Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) uqiyah, atau seberat 595 gram.
4.Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah 1/40 atau 2,5 %.
5.Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat) . Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

Menurut mazhab Hanafiah emas dapat digunakan untuk melengkapi nisab perak yang ada, yaitu harganya bukan bendanya. Sehingga dihitung harga emas yang ada sesuai perbandingan dengan nisabnya kemudian dihitung pula harga perak yang ada, bila sudah mencapai nisab, maka harus dizakati. Karena pengertian "kaya" telah terwujud dengan memiliki nilai sebesar nisab. Begitu juga halnya dengan komoditas perdagangan lain harus digabungkan dengan emas dan perak yang ada untuk melengkapi nisab. Nisab uang, baik uang kertas dan uang logam, dihitung berdasarkan emas, yaitu yang sama dengan harga 85 gram emas murni. Yang dimaksud dengan emas murni ialah yang masih berupa batangan dengan kadar karat 99,9% sesuai dengan harga pada waktu mencapai haul di negeri si pembayar zakat.
Dan perlu diketahui juga, bahwa batasan nishab ini hanya perlu diketahui oleh orang yang harta bendanya berjumlah sedikit. Adapun orang yang hartanya melimpah ruah, maka tidak mengapa bila ia tidak mengetahui batasan nishab. Ia dapat langsung mengambil 1/40 atau 2,5% dari total harta kekayaannya dan diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Bagaimana apabila Nishab uang disatukan dengan nishab emas atau perak?

Para ulama' menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya. (Maqalaat Al Mutanawwi'ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/125.)

Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp 10.000.000, dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp 13.000.000, sedangkan harga 1 gram emas adalah Rp 200.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5%. Walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya mencapai nishab.

Sebagai contoh: Bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran adalah Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.

Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah berkata: "Aku berpendapat bahwa tidak mengapa bagi seseorang untuk membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya orang fakir bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas, atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya."


Bagaimana apabila emas itu dipakai untuk perhiasan ?

Ketika emas dan perak menjadi perhiasan yang dipakai, maka hukum mengeluarkan zakatnya menjadi pembahasan yang hangat diantara para ahli fikih. Dalam perhiasan, masalah zakat ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati adalah bahwa tidak wajib zakat pada perhiasan yang berupa intan, berlian, mutiara, yaqut, dan batu-batu permata lainnya. Adapun yang mereka perselisihkan adalah perihal wajib tidaknya zakat perhiasan dari emas dan perak.
Perbedaan pendapat ini terbagi kepada dua. Pertama, pendapat yang memandang wajibnya zakat perhiasan dari emas dan perak. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah r.a., Ibnu Hazm, dan lain-lain yang sependapat dengan mereka. Dalil yang mereka gunakan adalah sebagai berikut.

1.Keumuman firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 34 yang artinya, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."
2.Keumuman sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang artinya, "Dalam perak ada zakat sebanyak seperempat dari sepersepuluhnya (seperempat puluh)."
3.Sabda Nabi saw. yang artinya, "Tiada pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan kewajiban zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disetrikakan padanya lempeng-lempeng dari api neraka."
4.Dari A'isyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, suatu ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku dan melihat di tanganku ada cincin-cincin perak, lalu beliau bertanya kepadaku: "Apa ini hai A'isyah?" saya jawab, "Saya membuatnya agar aku berhias dengannya untukmu, wahai Rasulullah." Beliau bertanya: "Apakah engkau keluarkan zakatnya?" aku jawab, "Tidak." "Maa syaa Allah!" beliau berkata: "Itu sudah cukup memasukkanmu ke neraka."
5.Dari segi dalil aqly , mereka memandang bahwa perhiasan emas dan perak sama dengan dinar dan dirham yang diwajibkan zakatnya.

Kedua, pendapat para imam yang tiga (Malik, Syafi'i, dan Ahmad) serta yang sepakat dengan mereka, bahwa tidak wajib zakat pada perhiasan. Dalil mereka adalah sebagai berikut.

1.Riwayat Jabir Radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Tidaklah wajib zakat pada perhiasan." Imam Baihaqi berkata, "Ini sebenarnya diriwayatkan dari ucapan Jabir."
2.Berdasarkan salah satu dalil ushul fikih tentang bara'ah ashliyyah, yaitu bahwa segala sesuatu tidak ada kewajiban sampai adanya nash atau perintah dari syara yang sahih. Disamping itu, zakat hanya diwajibkan pada harta yang hidup dan menghidupkan, sedangkan perhiasan tidaklah demikian, karena dipakai untuk dinikmati.
3.Banyak atsar dari para sahabat yang menyebutkan tidak adanya zakat perhiasan, di antaranya dari Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah Radhiyallaahu 'anha, istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, menjadi wali atas putri-putri saudaranya yang sudah yatim dalam asuhannya, mereka memiliki perhiasan dan ia tidak mengeluarkan zakatnya. Dan masih banyak lagi atsar yang menyatakan tidak adanya zakat pada perhiasan.

Yusuf al-Qaradhawi menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan zakat pada perhiasan, sebagaimana tidak wajibnya zakat pada ternak yang digunakan untuk bekerja. Inilah pendapat jumhur yang bisa dijadikan patokan hukum. Namun, berkaitan dengan atsar di atas, Imam Malik Rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa yang memiliki emas atau perhiasan emas dan perak yang tidak dipakai maka setiap berlalu satu tahun (tahun hijriyyah), ia wajib mengeluarkan zakatnya seperempat puluhnya, kecuali jika tidak sampai dua puluh dinar atau dua ratus dirham (nishab). Sayyid Sabiq mengutip perkataan Al-Khaththabi, "... dan langkah yang lebih aman adalah mengeluarkan zakatnya.

Perlu diperhatikan di sini bahwa perbedaan pendapat ini adalah pada perhiasan yang halal dipakai dan tidak melewati batas kewajaran. Adapun perhiasan yang disimpan dan tidak dipergunakan, seperti perhiasan-perhiasan yang dijadikan koleksi dan pajangan, maka wajib mengeluarkan zakatnya.

Para ulama telah sepakat wajibnya zakat atas perhiasan yang haram dipakai seperti perhiasan yang dipakai laki-laki, atau bejana emas dan perak yang dijadikan tempat makan dan minum. Sedangkan terhadap perhiasan yang dipakai oleh kaum perempuan, jumhur ulama sepakat akan tidak wajibnya zakat bagi perhiasan selain emas dan perak yang dipakai perempuan seperti intan, mutiara dan permata. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa benda-benda tersebut tidak berkembang, tetapi sekedar kesenangan dan perhiasan bagi kaum perempuan yang diizinkan Allah sebagaimana tersebut dalam QS An Nahl : 14.

Perhiasan emas yang haram dipakai tetapi dimiliki oleh kaum lelaki harus dikeluarkan zakatnya, seperti gelang dan jam tangan. Begitu juga wanita yang memakai perhiasan kaum lelaki harus membayarkan zakatnya karena haram bagi dirinya. Adapun cincin perak tidak dikenakan kewajiban zakat karena halal dipakai kaum lelaki. Singkatnya, pendapat yang paling kuat adalah bahwa seluruh perhiasan emas dan perak yang haram dipakai, wajib dizakati bila telah mencapai nisab dengan sendirinya.
Dengan demikian, maka ada dua jenis emas yang akan menentukan perbedaan perlu atau tidaknya dibayarkan zakatnya.

a. Emas yang tidak terpakai
Yang termasuk dalam kategori ini adalah emas yang tidak digunakan sehari-hari baik sebagai perhiasan atau keperluan lain (disimpan).
Contoh perhitungan zakatnya sebagai berikut: Khadijah memiliki 100 gram emas tak terpakai, setelah genap satu tahun maka ia wajib membayar zakat setara dengan 100 X 2,5 % = 2,5 gram emas. Jika harga emas saat itu adalah Rp 100.000 maka ia dapat membayar dengan uang sebanyak 2,5 X 100.000 = Rp 25.000.

b. Sebagian emas terpakai
Emas yang dipakai adalah dimaksudkan dalam kondisi wajar dan jumlah tidak berlebihan. Atas bagian yang terpakai tersebut, tidak diwajibkan membayar zakat.
Contoh perhitungan zakatnya sebagai berikut: Seorang wanita mempunyai emas 120 gr, dipakai dalam aktivitas seharihari sebanyak 15 gr. Maka zakat emas yang wajib dikeluarkan oleh wanita tersebut adalah 120 gr - 15 gr = 105 gr. Bila harga emas Rp 70.000,- maka zakat yang harus dikeluarkan sebesar: 105 x 70.000 x 2,5 % = 183.750


Nishab Zakat Uang Kertas

Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai macam cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan dari mereka menggunakan cara barter, yaitu tukar menukar barang. Akan tetapi tatkala mereka menyadari bahwa cara ini kurang praktis, terlebih-lebih bila kebutuhannya dalam sekala besar mereka berupaya mencari alternatif lain. Hingga pada akhirnya mereka mendapatkan bahwa emas dan perak, barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antara mereka, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dan beberapa waktu silam, umat manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, merekapun kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak. Pada akhirnya ditemukanlah uang kertas, dan mulailah umat manusia menggunakannya sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama' menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum seperti peranan dan hukum uang dinar dan dirham. Dengan demikian berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.
Secara singkat tentang nishab zakat uang dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama' menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.
Syeikh Abdul Aziz bin Baz menyatakan: "Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut".
Sebagai contoh apabila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, sedangkan harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya mencapai nishab. Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- dengan perhitungan sebagaimana berikut:
Rp 10.000.000 + 13.000.000 x 2,5 % (23.000.000 : 40) = Rp 575.000,-

c. Syarat kewajiban zakat emas, perak dan uang

Zakat uang, emas dan perak itu hanya wajib apabila telah memenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya.

d. Volume zakat emas, perak dan uang

Volume yang wajib dibayarkan dari zakat emas, perak dan uang ialah sebesar 1/40 (2,5%).



e. Cara pembayaran Zakat Emas dan Perak

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut :
1. Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
2. Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. maka hasil perkalian volume zakat yang wajib dibayarkan dengan harga per gramnya itulah jumlah yang harus dibayarkan. Contohnya, 25 gram emas volume zakat dengan harga 4 dinar per gram, jadi 25 x 4 = 100 dinar.

Bagaimana harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan ?

Harga emas dan perak di pasaran setiap saat pasti mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, kita membeli tiap 1gram seharga Rp 100.000, dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp 200.000, atau sebaliknya, pada saat beli 1 gram emas berharga Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp 100.000. Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat beli.

Bagaimana jika terjadi campuran harta emas dengan perak atau perak dengan perunggu?

Para ulama fikih sepakat bahwa tidak ada kewajiban zakat dalam harta campuran sebelum barang yang murni mencapai nisab yang penuh, Dengan demikian, siapapun yang memiliki emas atau perak yang tercampur dengan barang lain, maka dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya. Ia hanya wajib mengeluarkan zakat ketika emas dan peraknya telah mencapai nisab.












DAFTAR PUSTAKA

-As-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992)
-As-sayyid salim, Sahih Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2 (Mesir : Maktabah At-Taufiyah, 2003)
-Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, Ensiklopedi Muslim Minjajul Muslim, (Jakarta : Darul Falah, 2000).
-Asy-Syiddiy, Adil dan Al-Mazyad, Ahmad, Rukun-rukun Islam, (Riyad : Dar Ath-thaibah, tt).
-Al Utsaimin, Muhammad bin Sholeh, Majmu' Fatawa wa Rasaa'il, (Riyad : Dar Ats-Tsariya linnasyir, 2003)
-As Shan'ani, Kitab Subulus Salaam
-Baga, Lukman Moh, Fiqh Az-Zakat (Sari penting kitabYusuf Al-Qardhawy), (Bogor, 1997)
-Labib MZ, Muhtadim, Himpunan Hadits Pilihan, (Surabaya : Penerbit ”Tiga Dua", 1993)
-Suryana, M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam,(Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset, 2003)
-qultummedia.com
-zakat.al-islam.com dan artikel lainnya dari Internet

Jumat, 18 Desember 2009

DO'A BERSERAH DIRI KETIKA KELUAR RUMAH

Makalah

“Do’a Berserah Diri Tatkala Keluar Rumah”


Di susun oleh:
Fedi Moh. Ghifary A.


Dosen :
Gun gun Abdul Basit, S.Ag



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
PERSATUAN ISLAM - GARUT
2009





بسم الله الرحمن الرحيم

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ قَالَ يُقَالُ حِيْنَئِذٍ هُدِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِيْنُ فَيَقُوْلُ لَهُ شَيْطَانٌ اَخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ . )رواه أبو داود الترمذي وابن ماجه وأحمد(

“Dari Anas r.a. katanya Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa yang mengucapkan, yakni ketika keluar dari rumahnya: Bismillah, tawakkaltu 'alallah wala haula wala quwwata illabitlah - artinya: Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah dan tiada daya serta tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah, maka kepada orang itu dikatakanlah: "Engkau telah diberi petunjuk, telah pula dicukupi keperluanmu, jika telah diberi penjagaan. Syaitanpun menyingkirlah dari orang tersebut.maka syaitan yang lain berkata : bagaimana kamu bisa menggoda orang itu sedang dia telah diberikan petunjuk, diberikan kecukupan, dan dilindungi." (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi ,Ibnu Majah, dan ahmad.)

a. Pengesahan Hadits :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5905), at-Tirmidzi (3486), Ibnu Majah, dan Ahmad , melalui jalan Ibnu Juraij, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah.
Imam Nawawi mengatakan, “sanad hadits ini shahih dengan Para rijal (perawi) yang tsiqah, namun Ibnu Juraij ini seorang yang suka menyembunyikan kelemahan hadits ini seorang yang suka menyembunyikan kelemahan hadits. Dia menggunakan perkataan “’an Fulan” (dari si fulan),namun dalam meriwayatkan hadits ini dia telah menggunakan kata-kata “haddatsana” (fulan telah menceritakan kepada kami), sebagaimana yang dikemukakan oleh ad-Daraquthni yang dinukilnya dari al-Hafidz dalam kitab Nataa-Ijul Afkaar”(I/ 164-165)
Hadits ini mempunyai syahid dengan sanad yang kuat dan derajatnya mursal. Diriwayatkan oleh al-Hafizh dalam kitab Nataa-Ijul Afkaar (I/ 164-165)

b. Mufradat
- وُقِيْتَ : Dijaga dari segala macam kejahatan.
- تَتَنَحَّى : Cenderung ke salah satu arah dan menjauh dari jalannya.

c. Kandungan Hadits
Dalam hadits di atas jelas sekali bahwa jika seseorang keluar rumah dan ia membaca doa : : “Bismillah, tawakkaltu 'alallah wala haula wala quwwata illabitlah” Nabi menyebutkan bahwa orang itu telah diberi petunjuk, telah pula dicukupi keperluanmu, jika telah diberi penjagaan. Bahkan syaitanpun menyingkir dari orang tersebut. Itulah mungkin keutamaan bagi orang yang selalu berserah diri kepada Allah (tawakkal). Dalam al-Quran juga disebutkan :
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا
“Dan, tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai pelindung.” (QS. An-Nisa’:81)
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah:23)
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq:3)
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Kemudian apabila kalian telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran:159)
Bahkan Allah menjadikan tawakal sebagai salah satu sifat orang-orang Mukmin yang fundamental.
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang teah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah 9:51)
Dan dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai tawakkal ini :

1. Hakikat Tawakal
Mengenai tawakkal ini, Bisyr Al-Hafy berkata, “Andaikata seseorang benar-benar bertawakal kepada-Nya, tentu dia ridha terhadap apa yang dilakukan Allah terhadap dirinya.”
Tawakal adalah berserah diri kepada ketetapan dan takdir Allah dalam setiap keadaan. Jika dia bertawakal dengan sebenar-benarnya tawakal, berarti ridha terhadap apa pun yang dilakukan pelindungnya.
Abu Turab An Bakhsyaby berkata, “Tawakal adalah jika diberi dia bersyukur dan jika ditahan dia bersabar.”
Tawakal tidak benar kecuali disertai pelaksanaan sebab. Jika tidak, maka itu batil dan merupakan tawakal yang rusak.
Orang yang bertawakal merasa tenang karena ada janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuan tentang Allah dan orang yang pasrah ridha terhadap hikmah Allah.
Muslim yang bertawakal bukan berarti mengabaikan upaya mencari rezki. Mereka tetap berusaha dan mengeluarkan jerih payahnya. Tetapi mereka merasa tenang, karena yakin tak seorang pun yang akan memakan bagian rezkinya yang telah ditentukan Allah baginya.
Diantara buah tawakal, bahwa tatkala orang yang bertawakal kepada Allah dengan menyodorkan sebagian sebab seperti yang telah diperin-tahkan dan sesuai dengan kesanggupannya, maka apa yang ada di luar kekuatannya akan disempurnakaan oleh kekuasaan Ilahy Yang Mahatinggi.

2. Tawakal tidak menafikan pertimbangan sebab (Ikhtiar)
Ada seorang laki-laki datang sambil membawa onta betina miliknya, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah saya harus membiarkan onta ini dan saya bertawakal, ataukah saya harus mengikatnya dan bertawakal?” Beliau menjawab, “Berilah tali kekang dan bertawakallah.”
Rasulullah bersabda “Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberi kalian rezki sebagaimana Dia memberikan rezki kepada burung, yang pergi dalam keadaan perut kosong dan kembali lagi dalam keadaan kenyang.”
Sabda beliau ini mengisyaratkan adanya sebab. Allah tidak memberi jaminan kekenyangan kepada burung yang pergi kecuali kepergiannya itu untuk aktif bergerak dan menyebar untuk mencari makan.

3. Buah tawakal kepada Allah
a. Ketenangan dan Ketentraman
Karena meyakini adanya pertolongan dari Allah untuk menyem-purnakan apa yang ada diluar kekuatannya.
b. Kekuatan
Yaitu kekuatan spiritual dan jiwa yang melebihi kekuatan material, kekuatan senjata maupun kekuatan uang. Kekuatan ini yang menjadi berkah bagi seorang muslim dalam menghadapi berbagai persoalan / masalah / ancaman yang dihadapinya.
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar’. Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, mereka pun berdoa, “Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir’. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah.” (QS. Al-Baqarah 2:249-251)
c. Keperkasaan
Orang yang bertawakal adalah orang yang perkasa sekalipun tanpa dukungan. Hati mereka bergantung kepada Allah, tidak membutuh-kan kecuali rahmat-Nya dan tidak takut kecuali adzab-Nya.
d. Ridha
Sebagian ulama berkata, “Selagi aku ridha kepada Allah sebagai pelindung, maka kudapatkan jalan untuk setiap kebaikan.
e. Harapan
Orang yang bertawakal kepada Allah tidak mengenal rasa putus asa di dalam hatinya. Sebab Al-Qur’an sudah mengajarinya bahwa keputusasaan merupakan benih kesesatan dan kufur.
“Ibraham berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr :56)
Seorang muslim senantiasa memiliki harapan untuk memperoleh keberuntungan yang diminta, keselamatan dari sesuatu yang tidak disukai, kemenangan kebenaran atas kebatilan, petunjuk atas kesesatan, keadilan atas kezhaliman dan kesulitan yang lenyap.
Wahai orang yang dizhalimi dan kalah, wahai orang yang dianiaya dan kesulitan, wahai orang yang terluka dan ditimpa bencana, janganlah engkau putus asa, sekalipun banyak rintangan yang menghadang di depanmu. Sesungguhnya Dzat yang mengetahui hal-hal yang gaib, yang mengampuni dosa dan membalik hati, akan menyingkirkan kesusahan darimu, mewujudkan apa yang engkau minta, sebagaimana penyakit yang akhirnya dijauhkan dari dir Ayyub dan kembalinya Yusuf kepada Ya’qub.

4. Pendorong-pendorong Tawakal
1. Mengetahui Allah dengan Asma’ul Husna-Nya
Barangsiapa mengetahui Allah sebagai Rabb yang pengasih dan penyayang, yang perkasa, bijaksana, mendengar, mengetahui, hidup, berdiri sendiri, kaya, terpuji, melihat, berkuasa, pemberi rezki, kuat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengeta-huan-Nya, tidak ada sesuatu pun yang membuat-Nya lemah, bias berbuat apa pun yang Dia inginkan dan kehendaki di masa lalu atau pun yang akan datang, maka dia tentu merasa terdorong untuk bersandar dan bertawakal kepada-Nya.
Siapapun yang lebih mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, maka tawakalnya lebih benar dan lebih kuat.
2. Percaya kepada Allah
Percaya kepada Allah merupakan buah pengetahuan. Jika seseorang mengetahu Allah dengan sebenar-benarnya, tentu dia akan percaya kepada-Nya secara utuh, jiwanya menjadi tenang dan hatinya menjadi tentram.
Gambarannya adalah bercaya bahwa Dia lebih menyayangi hamba-hamba-Nya, melebihi rasa kasih saying orang tua kepada anaknya dan bahka Dia lebih santun terhadap mereka daripada kesantunan mereka terhadap dirinya sendiri. Dia lebih mengetahui kemaslaha-tan mereka daripada pengetahuan mereka sendiri.
Gambaran lain adalah percaya kepada janji yang disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya, bahwa Dia adalah pelindung orang-orang yang beriman, pendukung dan penyelamat mereka. Dia senantiasa bersama mereka untuk memberi pertolongan dan Dia tidak akan mengingkari janji.
Gambaran lain adalah percaya kepada jaminan rezki yang diberikan kepada makhluk-Nya.
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki, Yang Mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat:58)
3. Mengetahui Diri Sendiri dan Kelemahannya
Orang yang jauh dari tawakal adalah yang terperdaya oleh keadaan dirinya sendiri, yang mengagumi ilmunya, yang bangga dengan kekuatannya, yang tertipu dengan kekayaan yang dimilikinya, yang mengira bahwa dia tidak lagi membutuhkan Allah.
“Ketahuilah, sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-Alaq’:6-7)
Tawakal bias digambarkan dari orang yang merasa membutuhkan kepada pelindung dan tidak mungkin baginya untuk tidak membutuhkannya sekalipun hanya sekejap mata.
4. Mengetahui Keutamaan Tawakal
“Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq:3)
5. Hidup bersama Orang-orang yang Bertawakal.
Dalam hadits di atas Imam Nawawi menyimpulkan bahwa :
1. Keutamaan tawakkal kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, serta berlindung kepadanya. Sesungguhnya tawakkal itu merupakan benteng yang kokoh, yang memelihara setiap muslim dari tipu daya syaitan.
2. Hendaklah seorang hamba memulai kehidupan di luar rumah dengan berdzikir kepada Allah dan bertawakkal serta menyerahkan segala urusan kepadanya.
3. Tidak ada daya dan upaya bagi seorang hamba dalam segala urusannya melainkan hanya dengan pertolongan Allah semata.
4. Pemeliharaan dan penjagaan yang diberikan Allah swt. kepada orang-orang yang beriman dari gangguan syaitan.
5. Ketidakmampuan syaitan untuk menggoda orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah swt. dan telah dia tanamkan kecintaan kepada keimanan serta keimanan itu dijadikan hiasan di dalam hatinya
6. Syaitan itu saling tolong menolong sesama mereka untuk menyesatkan umat manusia.
7. Disunahkan membaca do’a setiap kali keluar rumah, agar mendapatkan kebaikan yang terkandung di dalamnya dan ada berada di bawah perlindungan Allah swt. Barangsiapa menjaga perintah dan larangan Allah, maka dia akan selalu menjaganya (syarah Riyadush Sholihin :hl.266-267)
Dalam riwayat lain disebutkan :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((مَنْ قَالَ يعني - إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ - : بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ , يُقَالُ لَهُ : هُدِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ, وَتَنَحَّى عنََْهُ الشَّيَاطِيْنُ)). رواه أبو داود الترمذي والنسائى وغيرهم. وقَالَ الترميذي : حديث حسن, زاد أبو داود : ((فَيَقُوْلُ : - يعني : الشَيْطَانُ. لِشَيْطَانِ اَخَرِ : كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ ؟.))
“Dari Anas r.a. ia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa yang mengucapkan, yakni ketika keluar dari rumahnya: ‘Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah dan tiada daya serta tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah’, maka kepada orang itu dikatakanlah: "Engkau telah diberi petunjuk, telah pula dicukupi keperluanmu, jika telah diberi penjagaan. Syaitanpun menyingkirlah dari orang tersebut. ( Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi ,an-Nasa-i, dan lain-lain. Tirmidzi menyatakan :”Hadits ini Hasan” Abu dawud menambahkan : “maka dia berkata - yakni syaitan – kepada syatan yang lain : bagaimana kamu bisa menggoda orang itu sedang dia telah diberikan petunjuk, diberikan kecukupan, dan dilindungi.?")

Do’a yang diajarkan Nabi dalam riwayat lain disebutkan :

عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِينَ أَمِّ سَلَمَةَ, وَاسْمُهُ هِنْدٌ بِنْتُ أَبِي أُمَيَّةَ حُذَيْفَةَ المَخْزُومِيَّةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنّ النّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ قَالَ : ((بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ, اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ، أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ)). حديث صحيح. رواه أبو داود والترمذي وغيرهما بأسانيد صحيحة. قال الترميذي: حديث حسن صحيح وهذا لفظ أبو داود
“Dari Ummul Mukminin, Ummu Salamah, yang nama sebenarnya adalah Hindun binti Abi Umayyah Hudzaifah al-Makhumiyyah r.a., bahwa Nabi saw. Jika keluar rumah, maka beliau selalu membaca :” Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyesatkan atau disesatkan; dari menggelincirkan atau digelincirkan; dari menganiaya atau dianiaya; dari membodohi atau saya dibodohi (orang lain)”. (Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan lain-lain dengan sanad yang shahih. At-Tirmidzi menyatakan, “Hadits ini hasan shahih” dan lafadznya di atas milik Abu Dawud).

Setiap keluar rumah hendaklah selalu membaca doa. sebagaimana di sebutkan dari kedua hadits di atas. Adapun doa-doa yang diajarkan Nabi SAW, di antaranya yang disebutkan di atas :
1. بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan selain dari Allah.” (H.R. Abu Daud, tirmidzy dan Nasai )
Maka dikatakan kepadanya saat itu:
((كُفِيْتَ وَوُقِيْتَ وَهُدِيْتَ فَتَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطاَنُ. فَقَالَ :كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ))
“Engkau telah tercukupi, telah terjaga dan mendapatkan petunjuk. Kemudian syaitan berpaling dan berkata kepada yang lain:”Bagaimana kamu dapat menggoda dia, sedangkan dia telah mendapatkan petunjuk, tercukupi dan terjaga?"
2. بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ, اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ، أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ.
” Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyesatkan atau disesatkan; dari menggelincirkan atau digelincirkan; dari menganiaya atau dianiaya; dari membodohi atau saya dibodohi (orang lain)”. Doa Lain yang Diajarkan Nabi adalah:
3. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ، أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ.
“Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyesatkan atau disesatkan; dari menggelincirkan atau digelincirkan; dari menganiaya atau dianiaya; dari membodoho atau saya dibodohi (orang lain) (H.R. Abu Daud dan Tirmidzy)
Melihat kedua hadits di atas bahwa setiap keluar rumah mesti membaca doa. Dimana itu merupakan adab seorang muslim. Tur Wahyudin menyebutkan sedikitnya ada 11 adab keluar dari rumah :
1. Sebelum keluar sebaiknya sudah melaksanakan salat dua rakaat sunat
2. Pastikan tidak ada bawaan yang tertinggal
3. jangan keluar dengan terburu-buru, karena terburu-buru itu adalah sifat syetan
4. Melangkah keluar rumah dengan kaki kiri, dan jika masuk rumah dengan mendahulukan kaki kanan
5. jangan pergi keluar rumah untu maksiyat kepada Allah
6. Jika akan berbuat maksiyat harus diurungkan niatnya
7. Jangan lupa membaca ta’awwudz, Basmalah dan doa keluar rumah
8. jangan keluar rumah tanpa pamit, karena Allah akan melaknat kepergiannya
9. Jangan bepergian kalau tidak ada keperluan yang penting
10. Keluar rumah untuk mencari nafkah karena Allah atau untuk melaksanakan amalan agama dianggap sebagai jihad fie sabilillah, jika meninggal di jalan akan mati syahid
11. Bagi wanita haram bepergian tanpa izin orang tua/suami dan dilarang bepergian sampai tiga hari tanpa disertai mahramnya.’Sabda آNabi SAW :
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
“Diriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat musafir, di mana perjalanannya melebihi dari tiga hari melainkan bersama ayah, anak lelaki, suami, saudara lelaki atau siapa sahaja mahramnya yang lain” (H.R. Bukhari-Muslim)

Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz berkata : “Barangsiapa membaca doa ini ketika keluar rumah maka ia tidak akan diganggu syetan dan terhindar dari bencana. Sama halnya ketika masuk rumah syaitanpun tidak bisa mengganggunya, bahkan syaitan yang lain berkata : tidak ada tempat menginap bagimu dan tidak pula engkau dapat makan malam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِاللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهَمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسَولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : (( إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَاللهُ عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ, قَالَ الشَّيْطَانُ : لاَ مَبِيْتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ, وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِاللهََ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ : أَدْرَكْتُمُ المَبِيْتَ, وَإِذَا لمَْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ : أَدْرَكْتُمُ اْلمَبِيْتَ وَاْلعَشَاءَ))
“Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu masuk ke dalam rumah dan ketika makan dengan menyebut nama Allah, maka syaitan akan berkata: tidak ada tempat menginap bagimu dan tidak pula engkau dapat makan malam. Dan apabila ia masuk rumah tetapi tidak menyebut nama Allah, maka syaitan berkata: aku dapatkan darimu tempat menginap. Apabila tidak pula menyebut nama Allah tatkala makan, maka syaitan berkata: kalian dapatkan tempat menginap dan makan malam”. (HR. Muslim).

Dalam diriwayat dari Abu Malik Al Asy’ari ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda:
“Apabila seseorang masuk ke dalam rumahnya, maka hendaklah ia mengucapkan:
((اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَوْلِجِ وَخَيْرَ اْلمَخْرَجِ, بِسْمِ اللهِ وَلجَنْاَ وَبِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَعَلَى اللهِ رَبَّنَا تَوَكَّلْنَا))
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu sebaik-baik tempat masuk dan sebaik-baik tempat keluar. Dengan menyebut nama Allah kami masuk dan dengan menyebut nama Allah kami keluar dan kepada Allah wahai Tuhan kami, kami berserah diri”. Kemudian memberi salam kepada keluarga (yang ada di dalam rumah). (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).( Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz 2007 48-50)



Maraji' :

-Media Itsar, E-Book Islami (materi-materi pembinaan Da’wah sekolah) “Tawakkal”. 2007
-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Terjemah Sharah Riyadhush Shalihin,tt. : Pustaka Imam Asy-Syafi’ai, Jilid 1, 2008
-http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/29926
-http://orido.wordpress.com/2007/04/23/doa-keluar-rumah/
-http://turwahyudin.wordpress.com/2008/04/28/adab-keluar-rumah/
-http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg02733.html

TAYAMUM

Makalah

“Tayamum”


Di susun oleh:
Fedi Moh. Ghifary A.

Dosen :
Beni Hamzah Taufik, S.HI.


STAI PERSATUAN ISLAM GARUT
2009



BAB I
PENDAHULUAN

Segala puji bagi ilahy rabbi, semoga kita senantiasa ada dalam ridla dan maghfirahnya. Selawat serta salam semoga terpancar curah kepada manusia junjungan alam, Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya, serta orang-orang sholeh yang senantiasa mengikuti jejak langkahnya.
Sebelum kita hendak memasuki sebuah rumah maka terlebih dahulu kita akan melewati pintu, akan tetapi bila pintu itu tertutup maka terlebih dahulu kita hendak memiliki kuncinya, lalu bagaimana bila kuncinya hilang atau ruksak maka kita harus mencari ganytinya.
Begitu juga dalam pelaksanaan sholat segala sesuatunya harus bermula, dan permulaan itu bisa menjadi syarat sebagaimana pintu menjadi syarat bagi seseorang yang hendak memasuki sebuah ruangan. Lalu apa yang menjadi syarat dalam pelaksanaan salat? syaratnya adalah niat dan kaypiat yang benar dan lurus. Lalu apa yang menjadi kuncinya? Kuncinya adalah wudhu, sebagaimana di jelaskan dalam sebuah hadits wudhu itu adlah kunci dalam melaksanakan sholat, dan ia merupakan keruteria syah tidaknya seseorang dalam melaksanakan sholat. Lalu bagaimana ketika suatu keadaan memberatkan kita untuk melaksanakan wudlu, maka dalam kondisi itu sama seperti yang kehilangan kunci, la harus terlebih dahulu mencari kuncinya atau menggantinya. Dengan hal itu Allah Saw, menjadikan sebuah kunci pengganti agar shalat kita tetap syah, dan kita mafhum hal tersebut diistilahkan tayamum.












BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Tayamum
Secara bahasa adalah Al-Qasdu (maksud) sebagaimana dalam surat Albaqarah ayat 267 Allah Ta’ala berfirman
”Janganlah kamu bermaksud untuk mencampurkan kejelekan dari apa-apa yang kamu infakakan ”
Dan menurut syara’: para fuqaha memberikan defenisi,:
“Tayamum adalah gerakan menyapukan tanah yang berdebu dengan tapak tangan ke seluruh muka dan kepada kedua tangan. Ia adalah sebagai pengganti wudhu ataupun mandi junub, hanya semata-mata untuk mengerjakan solat sahaja dengan sebab waktu solat telah tiba sedangkan air tidak dijumpai. Kalau air sudah dijumpai, maka kita tidak boleh lagi bertayamum. Orang yang bertayamum untuk mengganti mandi junub, hendaklah mandi semula apabila sudah mendapat air, sebagaimana mestinya sebelum bersolat.

B. Pensyariatannya
Tayamum adalah syariat khusus kepada umat islam, yang disyariatkan pada perang bani mustaliq pada tahun ke 6 hijah. Sebagaimana di jelaskan pada hadits di bawah ini(point dalil bertayamum)

C. Dalil bertayamum
Surah al-Maidah ayat 6 yang bermaksud:
Dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air) atau dalam perjalanan atau selepas buang air atau kamu sentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk atau mandi )maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah iaitu sapulah muka kamu dan kedua belah tangan dengan tanah (debu).
Aisyah istri Nabi Muhammad saw berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam sebagian perjalanan-perjalanan beliau, sehingga ketika kami di Baida’ atau di Dzatul Jaisy [ketika kami memasuki Madinah, 5/ 187], terputuslah kalungku [lalu Rasulullah saw menderumkan untanya dan turun]. Rasulullah saw berkenan mencarinya dan orang-orang menyertai (mengikuti) beliau. Mereka tidak di tempat yang ada air [dan mereka tidak membawa air, 4/ 195], [lalu beliau meletakkan kepala beliau di pangkuanku untuk tidur]. Orang-orang lalu datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan berkata, ‘Tidaklah engkau lihat apa yang diperbuat oleh Aisyah kepada Rasulullah saw dan orang banyak? Mereka tidak di (tempat yang ada) air dan mereka tidak mempunyai air.’ Abu Bakar lalu datang kepada Rasulullah saw. yang sedang tidur dengan meletakkan kepalanya atas pahaku. Abu Bakar berkata, ‘Kamu menahan Rasulullah saw. dan orang-orang, sedangkan mereka tidak di (tempat yang ada) air dan mereka tidak memiliki air.’ Abu Bakar memarahiku dan ia mengatakan apa yang dikehendaki Allah untuk diucapkan olehnya. Ia mulai memukulku dengan tangannya pada lambung aku. (Dalam satu riwayat: dan dia meninjuku dengan keras seraya berkata, ‘Engkau telah menahan orang banyak gara-gara seuntai kalung?!’ Mati aku, karena keberadaan Rasulullah saw yang demikian itu menyakitkanku) dan aku terhalang untuk bergerak karena Rasulullah masih tidur di pahaku. Rasulullah saw bangun ketika (dan dalam satu riwayat: lalu Rasulullah saw tidur hingga) masuk waktu subuh tanpa ada air. Selanjutnya, Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tayamum dan mereka pun bertayamum. Usaid bin Hudhair berkata, ‘Apakah permulaan berkahmu, wahai keluarga Abu Bakar?’ Aku (Aisyah) berkata, ‘Kami mencari unta yang dahulu kami di atasnya. Kami menemukan kalung itu di bawahnya.’ (Dan dari jalan lain dari Aisyah bahwa dia meminjam kalung kepada Asma’, lalu kalung itu hilang, lalu Rasulullah saw menyuruh seseorang [untuk mencarinya, 7/54], kemudian orang itu menemukannya, kemudian datang waktu shalat, sedangkan mereka tidak membawa air. Shalatlah mereka [dengan tanpa berwudhu, 4/220]. Mereka lalu melaporkan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu turun ayat tentang tayamum. Usaid bin Hudhair berkata kepadaku (Aisyah), ‘Mudah-mudahan Allah memberi balasan yang baik kepadamu. Demi Allah, tidaklah terjadi padamu sesuatu yang sama sekali tidak engkau sukai, melainkan Allah menjadikan untukmu [jalan keluar darinya], dan [menjadikan] padanya kebaikan bagi kaum muslimin (dalam satu riwayat: berkah).’”

D. Hukum bertayamum
Mengenai Hukumnya para ulama berbeda pendapat namun kebanyakan mereka berpendapat tayamum adalah pengganti wudlu jika ada sebab :
1.Sakit
2.Bepergian
3.Tidak ada air
Maka dengan hal ini hukum tayamum adalah menjadi wajib walaupun harus menyuruh orang lain untuk mentayamuminya
Dikatakan juga tayamum adalah rukhsoh atau keringanan, dapat dipahami jikalau ini sebuah keringanan maka dalam kondisi yang tidak memungkimkan sekali tidak apa-apa tidak bertayamum juga.

E. Sebab sebab bertayamum
Sebagaimana di sebutka dalam surah al maidah ayat 6 yang bermaksud:
Dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air) atau dalam perjalanan atau selepas buang air atau kamu sentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk atau mandi )maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah iaitu sapulah muka kamu dan kedua belah tangan dengan tanah (debu).
Maka dapat di perinci hal-hal yang menyebabkan seseorang boleh bertyamum:
1.Keadaan sakit
2.Apabila bepergian
3.Tidak terdapat air
Bertayamum hendaklah dengan tanak suci yang berdebu. Boleh juga bertayamum dengan pasir halus atau batu yang telah dihancurkan menjadi tepung (seperti tepung atau debu yang kita yakin tidak kotor)

F. Syarat Syarat Tayamum
1.Masuk waktu shalat
2.Debu yang kering dan suci
3.Menghilangkan najis sebelum tayamum
4.Mencari air

G. Rukun-rukun Tayamum
1.Niat ketika mengusap wajah
2.Mengusap wajah dan tangan
3.Menepukan tangan ke debu
Tayammum Khusus Bagi Umat Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad n, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah Subhanahu Wata’ala dalam sabda beliau (yang artinya): “Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (Al-Majmu’ 2/239)

H. Tata Cara Tayamum
Penjelasan tentang wudhu dan perkara-perkara yang bersangkutan dengannya telah kita ketahui dan telah lewat pembahasannya. Permasalahan berikutnya adalah masalah tayammum dan beberapa perkara yang berhubungan dengannya. Adapun syariat tayammum ini Allah Subhanahu Wata’ala yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia (yang artinya): “Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin mensucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda (yang artinya): “Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya [1], kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi: “Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368) Dari hadits Ammar Radhiyallahu ‘Anhu di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
1.Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan
2.Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
3.Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.
a. Berniat
Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan.
Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60)
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (Al Majmu’, 2/254) Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i[2] dan Al-Hasan bin Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158)
b. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/debu dengan sekali pukulan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha’, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269-270, Adhwa’ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-2). Dan ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.
Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar Rahiyallahu ‘Anhu dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)
Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya (At-Talkhis 1/237, Adhwa’ ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib (hal. 341): “Dha’if.” Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah berkata: “Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/ tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits Al-Anshari[3] dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (Fathul Bari, 1/554). Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam At-Talkhis 1/236-240 no.206-208.
Al-Imam Ash-Shan’ani Rahimahullah berkata: “Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)
Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)
Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)
c. Meniup atau mengibaskan debu dari dua telapak tangan
Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62) Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata: “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)
Kata Ibnu Qudamah Rahimahullah: “Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu disebutkan bahwa setelah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam Ahmad Rahimahullah menyatakan: “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155)
d. Mengusap wajah terlebih dahulu kemudian mengusap dua telapak tangan
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).
Al-’Allamah Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: “Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menghikayatkan kesepakatan pengikut madzhab Asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya Al-Imam Malik Rahimahullah dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”Sementara Al-Imam Ahmad Rahimahullah dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah berkata: “Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)
Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini:
Pertama: Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad Rahimahullah berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90).
Kedua: Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur’an karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu Wata’ala mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda (yang artinya): “Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)
Dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan dengan lafadz perintah: “Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa’i no. 2913)
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah (yang artinya): “Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa terlebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam di atas. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu dalam riwayat Al-Bukhari no. 347[4]: “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)
Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan[5] -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (Al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam
Batasan tangan yang harus diusap
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik. Al-Imam Al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam Al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam At-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan shahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti Asy-Sya’bi, ‘Atha’ dan Makhul. (Sunan At-Tirmidzi, 1/97)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku[6]. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi[7], dan pembicaraan tentang hukum hadits ini sudah kita singgung pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. Al-Imam Ahmad Rahimahullah menyatakan: ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)
Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari Az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273). Ibnu Hazm membicarakan hadits ini di dalam Al-Muhalla (1/373-374), kemudian beliau berkata: “Yang wajib bagi kita adalah kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana Allah perintahkan kepada kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga kalau kita mau melakukannya kita akan mendapatkan Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita yakin apabila Allah Subhanahu Wata’ala menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu. Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah Subhanahu Wata’ala tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah Subhanahu Wata’ala sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam tayammum kecuali hanya mengusap wajah dan kedua tangan.”
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah dalam Fathul Bari (2/56) berkata: “Hadits ini sangat mungkar dan terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.”
Guru kami Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i Rahimahullah juga mendha’ifkannya.
Al-Imam Az-Zuhri Rahimahullah sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Rajab Rahimahullah: “Hadits ini telah diingkari oleh Az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu Az-Zuhri menahan diri untuk menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah dan selainnya mengatakan: “Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang shahih yang datang belakangan dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka yang jadi hujjah adalah apa yang beliau perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat Ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah keberadaan ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu (shahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi n. Dan tentunya perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, terlebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa’ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
Perselisihan tentang pengusapan wajah
Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, sama saja baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut yang tipis yang menampakkan kulit ataupun tidak.
Sedangkan pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Pendapat demikian adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya An-Naisaburi dan Al-Jauzajani. Hal ini karena mereka berpandangan mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab, 2/50, Al-Muhalla, 1/368)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Maka dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan untuk mengusapnya seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis maka wajib menyampaikan air ke pangkal rambut tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)
Dan penulis dalam permasalahan ini lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah, karena dzahir nash yang datang dari Nabi Subhanahu Wata’ala mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari dzahirnya. Sehingga dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.

Seputar permasalahan Tayamum
1.Apakah taymum ini rukhsah atau pengganti dari wudlu dan mandi
2.Niat dalam bertayamum
3.Sebab bolehnya tayamum itu karena tidak ada air saja atau karena sakit dan bepergian
4.Batasan tangan yang di harus di usap
5.Dalam kayfiatnya apakah didahulukan tangan atau wajah



BAB III
PENUTUP

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321 Tharhut Tatsrib, Al-Imam Al-’Iraqi, 1/268, Abul Juhaim Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok, pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)
Sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kepada ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu (yang artinya): “Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
Disebutkan dalam riwayat: “Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Salamah, dan Al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il Al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
Dengan lafadz: “Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”


DAFTAR PUSTAKA


Musthafa Bisri, Tarjamah Bulughul Maram, Juz awal. Rembang : Offset MENARA Kudus.1975

Az-Zuhaya Wahbah, Al-Fiqhu Al-Islamiyyah wa Adillatuhu, Juz awal. Damaskus : Darul Fikri. 1997

Artikel Internet

Pemikiran Pendidikan Islam menurut Ibn Miskawaih

Makalah

“Pemikiran Pendidikan Islam menurut Ibn Miskawaih”


Di susun oleh:
Fedi Moh. Ghifary A.

Dosen :
Fenti Inayati, S.Ag.

STAI PERSATUAN ISLAM GARUT
2009






BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan pada hakikatnya adalah interaksi komponen-komponen yang esensial dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Perpaduan antara keharmonisan dan keseimbangan serta interaksi unsur-unsur esensial pendidikan, pada tahap operasional dipandang sebagai faktor yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam diketahui bahwa pendidikan berlangsung melalui proses operasional dalam mencapai tujuannya dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai spiritualitas Islam. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan anak didik yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Manajemen kelembagaan pendidikan semacam itu merupakan sebuah sistem pendidikan Islam. Dari segi ini, pendidikan Islam dipandang sebagai proses yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan.
Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem sosial yang dipahami sebagai aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim pada operasionalisasinya melibatkan berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lainnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya adalah sebuah sistem, dimana proses pendidikan Islam dipahami sebagai interaksi antara komponen yang satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pendidikan Islam.
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang pelu diemban oleh pendidikan. Islam adalah pendidikan mannusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.


BAB II
PEMBAHASAN

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBN MISKAWAIH

A. Riwayat Hidup

Ibn Miskawaih yang terkenal dengan julukan al-Khazin, digelari juga sebagai ‘guru ketiga’ setelah Aristoteles dan al-Farabi. Ia lahir di Teheran tahun ± 320 H/932 H dan wafat pada tahun 421 H/1030 M. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia menggeluti berbagai macam disiplin ilmu sebingga menjadikannya sebagai ‘Bapak Filsafat Etika Muslim’ dan ‘Bapak Psikologi Pendidikan Muslim’. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan dan pendidik.

B. Pemikiran Kependidikan Ibnu Miskawaih

a. Apakah Manusia dapat dididik
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan pendapat Ibn Miskawaih tentang karakter manusia. Manusia memiliki dua macam karakter, pertama yang tabi’i, kedua karakter yang lain dan diperoleh melalui kebiasaan dan latihan.
Ibn Miskawaih mengakui hakekat dan fungsi pendidikan dalam pembentukan kepribadian diri manusia sehingga terbentuk manusia yang memiliki malakah dan karakter yang terpuji. Malakah mempunyai makna sebagai sifat yang berurat berakar, sebagai hasil mengerjakan sesuatu secara berulang kali. Jika malakah dihubungkan dengan persoalan belajar, maka ia bermakna suatu tingkat capaian dan tingkat tertentu sebagai akibat dari proses belajar.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Ibn Miskawaih mengungkapkan manusia dalam menerima perubahan karakter berbeda-beda. Sehingga ia membagi manusia menurut tabiatnya kepada tiga kelompok, manusia yang baik, jahat dan manusia pada posisi tengah yang dapat berubah menjadi baik atau jahat tergantung pada faktor usaha, pendidikan dan lingkungan. Pembagian ini memberi gambaran bahwa manusia dapat dididik, dan inilah menurutnya yang sesuai dengan realitas. Dan justru karena pemahamannya yang demikian, ia menulis buku Tahzib, supaya manusia berakhlak mulia.

b. Dasar Pendidikan
Dasar merupakan landasan bagi berdirinya sesuatu, dan ia berfungsi sebagai pemberi arah terhadap tujuan yang akan dicapai;
1. Syariat sebagai dasar pendidikan. Ibn Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti apa yang menjadi dasar pendidikan. Namun ia menyatakan bahwa syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Dengan syariat, manusia terbiasa untuk melakukan perbuatan terpuji, menjadikan jiwa mereka siap menerima al-hikmah dan fadilah. Karena rujukan syariat agama adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, maka dua hal terakhir menjadi sumber yang paling asasi;
2. Pengetahuan psikologi sebagai dasar pendidikan. Ibn Miskawaih pada awal tulisannya dalam Tahzib menegaskan adanya hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan tentang jiwa. Bahwa untuk menjadikan manusia memiliki karakter yang baik, kata Ibn Miskawaih harus melalui perekayasaan (sina’ah) dan pengarahan pendidikan secara sistematis (ala tartib ta’limy). Pembentukan karakter baik tersebut, dapat tercapai jika kita memahami makna jiwa, mulai dari penciptaannya, tujuannya, kekuatan/dayanya, dan malakah-nya. Jiwa yang dibina dengan tepat akan menjadikan manusia tersebut mencapai kesempurnaan. Pembinaan jiwa tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan.

c. Tujuan Pendidikan
Corak pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih lebih bertendensi etis dan moral. Hal ini terlihat dalam merumuskan pendapatnya tentang tujuan pendidikan sebagai berikut:
1. Tercapainya akhlak mulia
Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya pribadi yang berakhlak mulia, yang disebutnya isabah al-khuluq al-syarif, yakni pribadi yang mulia secara substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang temporal dan aksidental, seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.
Hal di atas sejalan dengan pandangannya bahwa kemuliaan dan keistimewaan manusia terletak pada jiwa rasionalnya. Menurutnya, manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar rasionalnya, dan terkendali olehnya. Karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagaimana menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dia bisa menetralisir Jiwa-jiwa lainnya.
2. Kebaikan, Kebahagiaan dan Kesempurnaan
Pada hakekatnya tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia. Tercapainya tujuan pendidikan adalah merupakan langkah bagi tercapainya tujuan hidup manusia yang terakhir yaitu kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan.
Manusia menurut Ibn Miskawaih memiliki keutamaan rohani, dengannya ia dapat menyemai ruh-ruh yang baik, dan keutamaan jasmani yang dengannya ia menyamai hewan. Manusia dengan potensi fisiknya menempati alam rendah untuk mengaturnya, dan akan pindah ke alam tinggi bersama para malaikat dan rub yang baik.
Sehubungan dengan kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan di atas, maka Ibn Miskawaih membagi kedudukan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt kepada:
a) Kedudukan orang yang yakin, yaitu tingkat filosof dan ulama.
b) Kedudukan orang yang baik, yaitu orang yang mengamalkan pengetahuannya.
c) Kedudukan orang yang beruntung, yakni orang-orang yang shaleh.
d) Kedudukan orang yang menang, yaitu tingkatan orang yang tulus.
Untuk mencapai semua tingkatan di atas, harus dimiliki empat kualitas, yaitu: (1). Kemampuan dan semangat yang kuat, (2) Ilmu-ilmu yang hakiki dan pengetahuan yang esensial-substansial, (3) Malu akan kebodohan dan kekurangwaspadaan, dan (4) Tekun melakukan kebajikan.

d. Pendidik dan Subjek Didik
Ibn Miskawaih mengelompokkan pendidik kepada orang tua, guru atau filosof pemuka masyarakat, dan raja atau penguasa. Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa kewajiban orang tua mendidik anak-anak mereka supaya mentaati syari’at dan seluruh sopan santun dengan berbagai cara.
Menurut Ibn Miskawaih guru atau filosof adalah penyebab eksistensi intelektual manusia, karena pendidikan yang mereka berikan dan ilmu yang mereka kembangkan. Tugas pemuka masyarakat yaitu pertama, meluruskan dan memandu manusia dengan ilmu-ilmu rasional dengan melatih daya-daya analisis potensinya. Kedua, memandu manusia dengan keterampilan praktis sesuai dengan kemampuannya.
Pengertian subjek didik bagi Ibn Miskawaih cukup luas, yaitu semua orang yang memperoleh atau memberikan bimbingan, bantuan dan latihan dari orang lain, baik berupa ilmu pengetahuan, maupun keterampilan guna mengembangkan diri. Menurutnya, manusia memiliki watak yang berbeda, ada yang memiliki sifat baik sejak awal dan ada juga yang tidak memiliki sifat tersebut. Akan tetapi, pembawaan sifat tersebut dapat berubah, jika ia memiliki kesungguhan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Jika perbedaan watak ini diabaikan, maka setiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individunya yaig tabi’i, disinilah letak pentingnya pendidikan agama.
Ibn Miskawaih mengemukakan bahwa respon individu dalam menerima pendidikan ada yang harus dengan paksaan. Ada pula menurutnya manusia yang responnya sangat mudah dan cepat karena ia punya watak yang baik, potensi unggul.
Mengenai tahapan perkembangan kejiwaan manusia, menurut Ibn Miskawaih berkembang dari tingkat sederhana pada tingkat yang tinggi. Awalnya, daya yang muncul berhubungan dengan makanan, untuk bertahan hidup lalu berkembang daya yang bersifat syahwiyah, yang membuatnya cenderung pada kesenangan. Kemudian berkembang daya imajinasi melalui panca indera, selanjutnya muncul daya gadhabiyah, ia mencoba mengatasi apa-apa yang merusak diri dan mencari yang bermanfaat dari dirinya. Setelah itu muncul secara berangsur daya atau kekuatan natiqah yang ditandai dengan rasa malu. Pada tahap ini manusia akan merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saatinmi menurutnya jiwa sudah siap menerima pendidikan.
Ibn Miskawaih juga berpendapat, bahwa pendidikan melalui latihan dan pembiasaan pada anak. Hal ini karena jiwa anak pada awalnya masih sederhana, jika ia mendapat gambar tententu, maka ia akan tumbuh sejalan dengan gambar tersebut, dan terbiasa dengannya.
Hubungan pendidik dengan subjek haruslah didasarkan pada cinta, kasih sayang, persahabatan keadilan, kebaikan dan fadilah. Hal ini karena menurut Ibn Miskawaih bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan kebaikan serta berupaya memperoleh keutamaan. Untuk itu, maka dalam pendlidikan perlu adanya komunikasi dua arah (interaksi) dan multi arah (transaksi).

e. Fungsi Pendidikan
Menurut Ibn Miskawaih, fungsi pendidikan adalah sebagai benikut:
1) Menanamkan Akhlak Mulia
Bagi Ibn Miskawaih, pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan pendidikan, sekaligus sebagai fungsi pendidikan. Nilai-nilai akhlak mulia yang perlu ditanamkan dan dibiasakan itu pada aspek rohani seperti jujur, tabah, sabar dan lain-lain. Juga pada aspek jasmani seperti adab berpakaian, berbicara dan lain-lain.
2) Memanusiakan Manusia
Ibn Miskawaih menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah untuk menundukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia. Selain itu pendidikan bertugas untuk mengangkat manusia dari tingkat terrendah pada tingkat tinggi.
3) Sosialisasi Individu
Ibn Miskawaih menyatakan bahwa kebajikan dan malakah manusia itu sangat banyak jumlahnya, dan seorang individu tidak dapat mencapainya sendirian. Sejumlah individu harus bersatu untuk mencapai kebahagiaan bersama, sehingga satu sama lainnya menyempurnakan. Masing-masing individu menjadikan dirinya seperti satu tubuh, yang saling menunjang.
Manusi menurut Ibn Miskawaih tidak dapat mandiri dalam menyempurnakan esensi dan substansinya sebagai insan, jika tidak berintegrasi dengan individu lainnya. Maka, diperlukan segala bentuk hubungan sosial lainnya, di antaranya melalui interaksi pendidik-subyek didik dalam proses pendidikan.
f.. Materi Pendidikan
Ibn Miskawaih tidak menjelaskan dengan tegas materi apa yang harus diajarkan kepada subyek didik. Tetapi dapat dipahami bahwa ia menekankan materi pendidikan itu haruslah bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia dan menjadikan manusia sesuai dengan substansi serta esensinya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Ibn Miskawaih membagi ilmu kepada dua kelompok: ilmu-ilmu mulia (al-ulum al-syarifah) dan ilmu-ilmu yang hina (a/- ulum al-radi’ah). Pembagian martabat ilmu tersebut sesuai dengan substansi dan obyek ilmu yang ada di alam ini. Ilmu-ilmu tentang manusia adalah lebih mulia (seperti ilmu pendidikan, ilmu kedokteran dan lain-lain) dan ilmu tentang hewan, dan ilmu-ilmu tentang hewan lebih mulia dari ilmu-ilmu mengenai benda mineral (al-jamadat). Ia lebih menekankan mempelajari al- ulum al-aqliyah, karena itu berkaitan langsung dengan substansi, eksistensi dan kualitas manusia.
Mengenai urutan yang harus diajarkan kepada subjek didik yang pertama sekali adalah kewajiban.-kewajiban syari’at, sehingga subjek didik terbiasa. Kemudian materi yang berhubungan dengan akhlak, sehingga akhlak dan kualitas terpuji merasuk dalam dirinya, sehingga terbiasa dengan perkataan yang benar dan argumentasi yang tepat. Kemudian meningkat setahap demi setahap pada materi ilmu lainnya, sehingga subyek didik mencapai tingkat kesempurnaan.

g. Metode dan Alat Pendidikan
1) Metode alami (tabi’i)
Sebagaiamana diuraikan terdahulu, bagi Ibn Mis kawaih stinap individu punya perbedaan dengan individu lainnya, termasuk tahapan perkembangannya. Oleh karenanya, menurut Ibn Miskawaih, dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti harus berjenjang, setahap demi setahap, sehingga sampai kepada kesempurnaan.
Dengan demikian ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu hendaknya didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, jasmaniah dan rohaniah. Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia membutuhkan pemenuhan psiko-pisiologis, dan cara mendidik hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan ini, sehingga sesuai tuntutan tahapan pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi.
2) Nasihat dan tuntunan sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih menyatakan, supaya anak mentaati syari’at, dan berbuat baik, maka diperlukan nasihat dan tuntunan. Subyek didik akan tidak terarah kepada tujuan
pendidikan yang diharapkan jika kepada mereka tidak diberikan nasihat dan pengajaran lainnya.
3) Ancaman, hardikan, pukulan, dan hukuman sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik, seperti tertera di atas dan dilaksanakan secara akurat sesuai dengan tuntutan yang diper-lukan. Artinya, jika subyek didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, maka kepada mereka diberikan berbagai cara sehingga mereka kembali kepada tatanan nilai yang ada. Tetapi harus bertahap dalam pelaksanaannya, ancaman dulu, baru hardikan kemudian pukulan (bersifat jasmani) dan hukuman (baik bersifat jasmani maupun rohani).
4) Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih menandaskan, jika subyek didik melaksanakan syari’at dan berperilaku baik, maka dia perlu dipuji dihadapannya. Selanjutnya Ibn Miskawaih menyatakan, jika ia didapati melakukan perbuatan yang melanggar syari’ah dan budi pekerti mulia, maka anak jangan langsung dicerca, apalagi di depan orang banyak.
5) Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Bila diteliti pemikiran Ibn Miskawaih dalam Tahzib mengenai asas-asas pendidikan akan ditemukan berbagai macam konsep, yang dapat dirangkumkan kepada: asas bertahap, perbedaan, kesiapan, gestalt, ketauladanan kebebasan aktivitet, keadilan, cinta dan persahabatan serta pembiasaan dan pergaulan.
Dalam asas kesiapan, Ibn Miskawaih menyatakan bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kesiapan untuk memperoleh bermacam-macam tingkatan. Dengan modal kesiapan ini manusia mempunyai harapan untuk meningkatkan kualitas dirinya, hanya saja tidak sama untuk semua individu.
Asas Gestalt adalah mendahulukan pengetahuan yang umum kemudian dirinci. Ibn Miskawaih menandaskan jika anda mengetahui yang universal anda akan mengetahui yang partikularnya, karena partikular itu lidak dapat terpisah dengan yang universalnya.
Asas ketauladanan adalah pemberian contoh yang baik bagi subyek didik, kecenderungan manusia untuk meniru menyebabkan ketauladanan menjadi penting artinya bagi pendidikan.
Asas kebiasaan bagi Ibn Miskawaih sangat penting dan menjadi perhatiannya. Dikatakannya, subyek didik boleh bebas memilih, apakah menjadi makhluk mulia atau menjadi makhluk hina seperti binatang, atau menjadi manusia sederajat malaikat, bahkan menyatu dengan Tuhan. Itu semua terserah kepada manusia sebagai subyek dari pendidikan.
Asas pembiasaan adalah upaya praktik dalam pembinaan dan pembentukan subyek didik. Ibn Miskawaih berulangkali menyatakan untuk membiasakan berbuat baik dan taat kepada orang tua, guru dan pendidik, biasakanlah dia untuk tidak berbohong, biasakanlah dia untuk sering berjalan, bergerak, rekreasi, olah raga dan seterusnya.
Dernikianlah beberapa asas pendidikan dan pemikiran Ibn Miskawaih. Pemikiran tersebut didasari oleh hakekat jati diri subyek didik. Sehingga sangat penting untuk dipahami dan diterapkan dalam usaha pendidikan



BAB III
Kesimpulan

Ibn Miskawaih yang terkenal dengan julukan aI-Khazin, digelari juga sebagai ‘guru ketiga’ setelah Aristoteles dan al-Farabi. Ia lahir di Teheran tahun ± 320 H1932 H dan wafat pada tahun 421 H11030 M. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia menggeluti berbagai macam disiplin ilmu sehingga menjadikannya sebagai Bapak Fitsafat Etika Muslim’ dan ‘Bapak Psikologi Pendidikan Muslim’. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan dan pendidik.
Dalam karyanya Tahzib, lbn Miskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Ia mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi’i, namun ia dapat berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu melalui pendidikan.
Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya priibadi yang berakhlak mulia, yang disebutnya isabah al-khuluq al-syrif, yakni pribadi yang mulia secara substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang temporal dan aksidentaI seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.
Menurut Ibn Miskawaih, fungsi pendidikan adalah sebagaj berikut:
menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia, dan sosialisasi individu. Sementara metode dan alat pendidikan yang dapat digunakan menurut Ibn Miskawaih adalah metode alami (tabi’iy), nasihat dan tuntunan ancaman hardikan pukulan dan hukuman, sanjungan dan pujian, serta mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan.







Maraji' :
-Mahmud dan Tedi Priatna, Kajian Epistemologi, Sistem dan Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2008
-Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005
-Prof. Dr. A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pendidikan Islam, Bandung: mimbar Pustaka, 2004